Minggu, 15 April 2012

My Biggest Idol

Setiap manusia saya yakin, mereka mempunyai pandangan tersendiri dan berbeda-beda tentang seorang Idola. Begitu pun saya, di setiap bidang saya memiliki banyak idola berbeda. Seperti penyanyi mancanegara favorite saya adalah Brian Mcknight. Penyanyi dalam negeri idola saya adalah trio GAC (Gamal, Audrey, Cantika) dan Raisa Andriana. Penulis idola saya adalah mbak Dewi 'dee' lestari. Dan masih banyak lagi. Namun selama hidup saya dan dimulai dari saya dilahirkan ke dunia ini sampai akhir hayat saya menutup mata dan menghembuskan nafas terakhir saya. Idola terbesar dan terhebat adalah seorang IBU. Terlebih Ibu saya sendiri. 
Mungkin semua anak mengidolakan ibu nya. Namun, kata idola ini mempunyai persepsi berbeda-beda. Saya bukan hanya mengidolakan ibu saya, namun juga mengaguminya, mencintainya dengan segenap jiwa raga saya. Mengapa demikian? Karena sebuah pengorbanannya tentu saja. Bisakah kalian menghitung pengorbanan seorang ibu? Menggunakan kalkulator sekalipun rasanya tidak mungkin. Jumlahnya terlampau banyak. Dan jika aku diminta untuk menuliskan semua kehebatan ibu ku diatas suatu kertas putih. Aku rasa, aku perlu membabat semua pohon di belantara bumi ini untuk menjadikannya kertas. Ibu ku tidak pernah mengeluh, sekalipun suatu masalah besar datang pada kehidupan kami. Ia tetap tersenyum dan mengatakan semua nya baik-baik saja. Sampai pada saat kesehatan ibu ku mulai menurun dan memburuk. Iya hanya berkata "mama nggak kenapa kenapa kok, cuma sakit perut aja. Nanti minum obat maag juga sembuh. Itu mama bikinin bekal buat di sekolah, kamu sekolah aja" sambil tersenyum menahan rasa sakit yang ia rasakan itu. Bahkan dalam keadaan menahan sakit, ibu ku masih sempat dan berusaha membuatkan ku bekal sarapan ke sekolah. Tidak pernah menyangka sebelumnya, apalagi sampai memikirkan hal buruk itu. Bahwa itu adalah masakan terakhir dan bekal dari mama yang terakhir kali nya. Siangnya saat aku pulang sekolah, mama sudah ingin dibawa ke Rumah sakit. Aku sempat menemani nya beberapa saat di ruang UGD. Wajah cantiknya pucat badannya pun lemas, namun mama ku masih bisa naik ke atas tempat tidur di ruang UGD dengan sendiri. "mama udah nggak kuat de" sambil merintih kesakitan mama memegangi perutnya, berbicara lirih menahan air mata, menahan rasa sakitnya. Kata-kata yang aku benci itu keluar dari mulut mama berulang-ulang kali. Aku hanya bisa menenangkannya dibalik rasa cemasku "mama harus kuat, mama pasti baik-baik aja kok, tahan ya ma" namun aku tidak setegar mama. Air mata di pelupuk mata ku sudah tidak tertahankan. Tidak lama mama di pindahkan ke ruang rawat inap. Kondisinya belum membaik, mama masih merintih kesakitan, memegangi perutnya. Saat malam hari, aku pamit pulang padanya, membiarkan kakak tunggal ku yang menjaganya. Karna besok hari aku harus sekolah. Ada beberapa kata yang ingin aku ucapkan padanya sebelum pulang, namun aku tidak bisa mengucapkannya. Bahkan saat berpamitan, aku tidak kuasa untuk mencium kening atau pipi nya. Aku takut, tangisku akan meledak lagi saat itu. Aku hanya berkata "ma, ade pulang dulu ya besok kan mau sekolah" sambil mencium tangannya. "Iya, besok pulang sekolah langsung kesini ya, jagain mama" mama berkata lemas. Aku hanya mengangguk. Saat sampai dirumah aku pun masih dalam keadaan cemas, membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Esok hari nya saat aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Ada satu telepon mengejutkan, bahwa mama kondisinya memburuk dan sudah koma berada di ruang ICU. Seluruh keluarga menuju rumah sakit. Dan saat aku masuk ke ruang ICU. Mama sudah tidak sadarkan diri, mama koma. Napasnya pun di bantu oleh alat untuk memompa jantungnya. Telapak kaki mama sudah dingin dan kaku. Bisakah kamu menghitung berapa air mata yang menetes dipipiku? Aku memeluknya, mencium wajahnya, membisikkan kata "La illahailallah" sebanyak-banyaknya di telinga beliau. Aku pun meminta maaf padanya. Setelah itu aku membacakan surat yasin di telinga mama. Namun, belum selesai aku membacakan surat yasin, seorang suster mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya "maaf, ibu ini sudah nggak ada". Aku teriak, aku tak kuasa menangis, bukan hanya menangis, namun juga menyesal. Aku tidak percaya, aku memegang wajah mama dan mencoba membangunkannya. Lagi dan lagi. Namun tidak berhasil. Mamaku sudah tiada, semua berlalu begitu cepat, sulit untuk ku percaya. Badanku jatuh ke lantai, terkulai lemas. Sebagian jiwa dan hidupku sudah pergi, sudah hilang dan tak akan bisa kembali. Mama, dia lah setengah jiwaku. Wanita terhebat dalam hidupku, motivator terbesarku, Mama sang idolaku.